Thursday, 1 May 2014

Cerpen

Beberapa waktu yang lalu, guru bahasa Indonesiaku ngasih tugas buat bikin cerpen. Memang, kita lagi mempelajari cerpen di pelajaran bahasa nasional itu. Aku seneng banget belajar tentang cerpen dan bikin cerpen, soalnya aku emang suka berimajinasi. Membuat cerita yang nggak cuma menghibur pembacanya, tapi juga menyampaikan sebuah pesan yang berharga itu menyenangkan untukku.

Di sini, aku mau ngepost cerpen yang aku bikin buat tugas itu. Semoga kamu suka sama cerpenku ini. :)

(DISCLAIMER: Saya hanya membuat cerpen ini untuk kepentingan pengumpulan tugas sekolah. Jika ada kesamaan dalam cerpen yang saya buat ini dengan karya lain, saya yakin hal itu hanyalah ketidaksengajaan. Tolong jangan ambil cerpen ini untuk kepentingan plagiarisasi. Jika memang ada keperluan dengan cerpen ini, hubungi saya terlebih dahulu. Tolong nikmati cerpen ini dan ambil hikmah yang saya sisipkan dalam cerpen ini.)


Setiap Kata
Virta

Hal yang terlihat di depan mataku saat ini hanyalah sepasang kaki milikku yang melayang, kakiku yang memakai sepatu sekolahku yang berwarna hitam. Aku sendiri sedang duduk di atas dinding beton yang berdiri di depan sekolah, tingginya sekitar sedadaku. Saat ini jarum panjang dan jarum pendek menunjukkan bahwa ini adalah waktu istirahat, dan ini adalah caraku sendiri untuk menghabiskannya.
Biasanya, aku mengikuti teman-temanku yang bermain bola, atau beberapa lainnya yang mau jajan ke kantin. Tapi, entahlah, hari ini, aku memilih untuk menemani dinding beton ini.
“Zo, ngapain kamu di situ?” Aku terkejut, ternyata kata-kata itu keluar dari temanku yang memiliki dua pasang mata (pasangan yang kedua berbingkai lumayan tebal dan berbentuk lingkaran), Yani. Tiba-tiba, ia muncul sendiri di hadapan diriku dan dinding beton ini.
“Lagi merenungi hidup, Yan.” Aku berkata, berusaha memasang wajah yang seserius mungkin. Sepertinya Yani tidak mengambil serius hal yang aku katakan, jadi ia tertawa.
“Halah, kamu,” balasnya, wajahnya menggeleng sedikit, dan lalu ia ikut menemani dinding beton itu, “merenungi hidup atau mikirin Sita?”
Sita. Tak perlu aku jelaskan kecantikan yang ada pada dirinya, sebab aku menyukainya dari hal-hal yang ia lakukan, bukan hal-hal yang membuatnya menarik dari luar.
Aku memukul Yani dengan pelan dan maksud bercanda. Aku tak dapat menahan rebusan rasa malu yang membuat diriku matang, berwarna merah di wajah. Lama kelamaan bibirku merekah menjadi senyuman, hanya karena memikirkan Sita.
“Kayaknya kamu harus cepet ngasihtau dia deh,” ucap Yani, wajahnya mulai serius, walaupun senyumannya masih menandakan keisengan, “ya, seenggaknya biar dia tau.”
Aku mengangguk dengan pelan, tapi aku tidak yakin dengan kesiapanku dalam melakukan hal itu.
***
“Assalammu’alaikum,” aku berkata, sambil membuka pintu rumah dan menaruh sepatuku di rak. Aku disambut oleh wangi makanan yang baru jadi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab sebuah suara lembut yang selalu membalas salamku ketika aku pulang sekolah. Suara Ibu yang sedang sibuk memasang gorden di ruang tamu, kakinya berpijak pada kursi, sebab tinggi badan Ibu tidak setinggi jarak lantai dan bagian atas jendela rumah kami. Begitu aku melihat gorden itu, aku tersentak kaget. Warnanya pink!
“Bu,” ucapku, sambil menunjuk ke gorden yang tengah ia pasang, “nggak salah tuh, warnanya pink?”
Ibu yang berada pada ketinggian yang melebihi tinggiku menatapku dengan dengan bingung. “Memangnya kenapa?”
“Kok… kok pink, sih?” Ucapku, “lagian, Ibu kok nggak ngomong sih kalo mau ganti gorden? Ngomong dulu kek, kan bisa didiskusikan mau warna apa sama aku dan Ayah. Lah, ini, pink? Kan cuma Ibu aja yang senang kalo warnanya pink.”
Ibu terdiam.
“Kalau kamu tidak suka, beli aja gorden sendiri pake uangmu.”
Ia menuruni kursi itu, mengembalikannya, dan membiarkan gorden pink berumbai-rumbai itu bergantung sendiri, belum terpasang secara sempurna.
Sekarang, giliranku yang terdiam.
***
Jam digital di kamarku menunjukkan bahwa sekarang tepat jam sepuluh malam. Aku sedang terbaring di kasurku, handphoneku memancarkan cahaya berbentuk kotak yang mendarat tepat di wajahku. Hatiku masih merasa tidak enak oleh hal yang aku katakana ke Ibu tadi.
Mungkin aku harus minta maaf ke Ibu… pikirku. Namun, aku tahu bahwa hal itu adalah hal yang sangat sulit. Bahkan, lebih sulit daripada harus menyatakan kepada Sita bahwa menurutku dia itu spesial. Entahlah, ada rasa gengsi yang besar dari menyatakan satu kata itu kepada Ibu, ‘maaf’.
“Tapi, Yah…” sebuah suara berkata. Suara Ibu. Dari dalam kamarku, aku dapat mendengar percakapan yang sedang terjadi antara Ibu dan Ayah yang sepertinya baru sampai rumah. Tanpa maksud buruk sedikit pun, aku menempelkan kupingku ke pintu dan mencoba untuk mendengarkan percakapan mereka.
“Kalau memang ia tidak suka dengan gorden itu, beli saja lagi. Pakai uangku, ya?” Ayah berkata. Tanpa melihat secara langsung, aku dapat mengetahui bahwa Ayah sedang menenangkan Ibu, memegang tangannya dan membelainya dengan lembut, agar hati Ibu tenang kembali.
“Tapi, masa anakku itu tidak sadar bahwa uang tidak muncul secara otomatis dari telapak tangan kita? Bahwa aku membeli gorden itu dengan uang, dengan uang yang aku dapatkan dari menjajakan jualan Ibu Marti setiap hari. Aku tidak sedih karena ia bersikap lancang padaku, tapi aku sedih karena ia tidak bisa menghargai uang di balik gorden pink itu.” Ucap Ibu. Isakan terdengar jelas dari setiap kata yang ia keluarkan.
***
Aku masih belum bisa berkata maaf kepada Ibu. Aku tahu kata-kata yang keluar dari mulutku itu bukanlah kata-kata yang terpuji, namun aku masih belum bisa menarik seluruh jiwaku untuk berkata ‘maaf’ kepada Ibu.
Meski begitu, gorden pink itu telah terpasang dengan rapi di rumah. Gorden itulah yang mengingatkanku pada kata-kataku kepada Ibu, dan memanggil rasa bersalah itu kembali
***
Lampu di atas kepalaku menyinari alat-alat laboratorium yang berserakan di atas meja. Alat-alat tersebut tengah kurapikan bersama Sita, pasangan percobaanku hari ini di pelajaran kimia. Entah ini takdir atau memang absen kita bersebelahan, yang manapun dari keduanya, aku tetap akan merasa senang.
Mungkin, inilah saatnya. Saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku kepada Sita. Di tengah-tengah kelegaan kita dari percobaan kimia yang berjalan dengan lancar. Baiklah.
Aku menarik napasku dalam-dalam.
“Sita.” Panggilku. Sita yang sedang menyusun tabung reaksi pada raknya langsung melirik kepadaku.
“Apa?” Jawab Sita. Jantungku mulai berdegup kencang.
“Aku boleh ngomong sesuatu?”
Sita terdiam sejenak. “Iya, boleh. Apa?”
Sekarang giliranku yang diam sejenak. “Aku… sebenarnya aku…”
“Aku…”
Rasanya seluruh kata-kata yang selalu aku latih seraya aku menatapnya terhambur di dalam benakku. Tatapannya membuatku bingung.
“Eh, aku cuma mau bilang…” aku berkata, mata pada badanku yang gugup ini melihat ke bawah sesekali, “kalo…”
“Kalo?” Kata Sita. Nampaknya ia menunggu-nunggu kata-kataku.
“Kalo… kamu cocok banget jadi ilmuwan,” ah, bodohnya aku. Bodoh! Kenapa aku malah berkata ini? “tadi tuh, pas percobaan, kamu yang paling telaten, yang paling alami gitu pas megang tabung reaksi. Kayak kamu tuh terlahir buat megangin tabung reaksi.”
Bodohnya aku… bodoh! Apa yang kamu katakan tadi, Zo?
Sita tersenyum. “Hehe, makasih Zo,” ucapnya, wajahnya memerah sedikit.
“I… iya, sama-sama.”
Hariku pun berakhir dengan sebuah pernyataan yang membuatku memukul jidatku sendiri.
***
Aku sedang berada di dalam sebuah ruangan. Gelap sekali ruangan itu. Yang dapat kulihat hanyalah kehitaman yang kelam, dan aku terperangkap di tengah-tengah kehitaman yang kelam itu.
“Di mana ini? Di mana semuanya? Mati lampu kah?” Aku berteriak dengan sekuat tenaga. Dari kecil sampai sekarang, ada satu ketakutan yang belum dapat aku taklukkan: ketakutan akan kegelapan. Aku bahkan tidak dapat melihat telapak tanganku sendiri.
Keringat membasahi tanganku.
“Zo!” Sebuah suara yang besar tiba-tiba muncul. Suara itu tidak menampakkan pemiliknya, semuanya masih gelap.
“I… iya?” Jawabku. Tubuhku melemas.
“Zo!” Panggilnya lagi.
“Apa?” Ujarku, lebih kencang lagi kali ini.
“Apa benar kamu telah menyakiti hati ibumu?”
Aku terdiam. Aku menelan ludahku. Aku gemetaran. Aku bisa dengan gampangnya menjawab ‘tidak’, tapi aku tahu, bahwa itu bukanlah kenyataan.
“I… iya. Aku telah menyakiti hati ibuku.”
“Sudahkah kau meminta maaf darinya?”
Aku terdiam lagi. Aku bisa dengan gampangnya menjawab ‘sudah’, namun aku tahu, itu bukanlah kenyataan.
“Be… belum.”
Suara itu hilang sejenak. Lalu, ia melanjutkan interogasinya kepadaku. “Baiklah,” ia berkata, “Zo, apa kau ingin melihat sesuatu?”
Kalau aku menjawab tidak, bagaimana? Tapi pada akhirnya, aku menjawab, “Baiklah.”
Sebuah cermin seukuran diriku muncul di depan diriku. Di dalamnya, aku melihat sosok seorang perempuan yang pasti dapat aku kenali, bahkan jika ia terlihat sedewasa ini. Sita.
Di dalam cermin itu, Sita tidak sendirian. Ia sedang duduk berdampingan bersama seorang lelaki yang tak kukenal, dan seorang bayi yang ia timang di tangannya.
“Apa ini? Siapa lelaki itu?” Ujarku, kaget. Hatiku yang menyukai Sita merasa tidak terima dengan bayangan yang aku lihat dari cermin itu. Namun, Sita terlihat bahagia. Senyuman yang lebar pada wajahnya memancarkan segala kebahagiaan itu.
“Siap untuk melihat bayangan yang selanjutnya?” Suara itu berkata.
Aku mengangguk.
Bayangan di cermin itu pudar. Muncullah bayangan yang lain.
Bayangan ini menunjukkan sosok seseorang yang kukenal dengan baik. Ibu. Wajahnya yang sekarang masih lembut dan rambutnya yang masih hitam telah berubah menjadi keriput dan putih. Tangannya yang menunjukkan umurnya yang telah lanjut meraba gorden warna pink yang masih tergantung di ruang tamu itu. Aku dapat merasakannya, ia menghela napas panjang.
“Kamu kira bahwa Ibu akan membiarkan semua itu berlalu, bahwa suatu saat pasti Ibu akan melupakannya, bukan?” Suara itu berkata, “Tapi, ia tidak pernah lupa.”
Setitik air, entah dari mana mengalir menuruni pipiku.
***
Aku terbangun terduduk di atas sofa, perasaan kaget melumuri kulitku.
Di hadapanku, TV yang masih menyala. Sepertinya aku tertidur ketika menonton TV sepulang sekolah ini, dan sekarang di TV terpampang gambar jeruk-jeruk dari iklan sari jeruk yang terkenal.
“Zo?” Ibu memanggil dari dapur, “Zo?”
“Ibu!” Teriakku. Aku berlari ke dapur, dan begitu aku menemukan sosoknya, secara refleks aku memeluknya dan  aku berkata:
“Ibu, maafkan aku. Maafkan aku Ibu. Maafkan kata-kataku tentang gorden pink itu. Maafkan kata-kataku yang lancang. Aku akan belajar dan melakukan yang terbaik, Ibu. Aku akan menghargai uang dengan lebih baik. Ibu…”
Nampaknya Ibu sama kagetnya dengan diriku. Meski kata-kataku mengagetkan, namun mereka tulus, dan mereka berasal dari hati.
“Iya, Nak.” Hanya itu yang Ibu katakan. Dan hanya itu yang aku perlukan.
Air mata pada wajahnya yang mengalir perlahan begitu aku melepas pelukannya melambangkan segala hal yang ingin ia katakan. Ia tersenyum.
***
Di koridor sekolah, aku melihatnya dengan jelas. Sita, duduk sendirian di pinggir air mancur di tengah-tengah sekolah, matanya menempel pada buku A Brief History of Time, karya Stephen Hawking. Ah, Sita dan bacaan beratnya.
Baiklah. Inilah saatnya.
“Sita, buku apaan tuh?” Sapaku, berbasa-basi. Dalam hati, aku berharap bahwa keempat kata itu dapat memulai percakapan yang menguntungkan kedua pihak. Aku duduk di sebelahnya.
“Eh, Zo,” jawabnya. Ia menurunkan bukunya dari wajahnya, dan sekarang wajahnya menghadap kepadaku. “Ini, bukunya Stephen Hawking, ilmuwan yang hebat meski ia memerlukan alat bantu untuk melakukan hampir semua hal. Kamu udah pernah baca belom?”
“Pernah denger sih,” ujarku.
Aku mengambil buku itu dari tangannya, dan aku membuka-bukanya sedikit.
“Kamu mau pinjam?” Tanya Sita.
Aku menggeleng, mengarahkan tatapanku kepadanya.
“Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu.” Kataku, berusaha agar benakku tidak terhamburkan lagi, seperti waktu itu.
“Apa, Zo?” Balas Sita. Ia menunggu.
“Aku suka sama kamu, Sita,” ucapku, aku biarkan semuanya mengalir dari dalam mulutku.
“Kok bisa?” Sita berkata, ia terlihat kaget dan wajahnya memerah. Nampaknya ia tak menyangka bahwa kata-kata itu keluar dari mulutku.
“Kamu memang cantik dari penampakanmu,” aku berkata, “tapi, aku suka kamu karena hal-hal yang kamu lakukan, semua hal yang kamu lakukan itu spesial.”
Sita tersipu malu. Ia tersenyum padaku.
***

Ketika aku kembali ke ruang yang hitam kelam itu, tidak ada yang berubah, selain bayangan-bayangan yang muncul dari cermin itu.

No comments:

Post a Comment