Di sini, aku mau ngepost cerpen yang aku bikin buat tugas itu. Semoga kamu suka sama cerpenku ini. :)
(DISCLAIMER: Saya hanya membuat cerpen ini untuk kepentingan pengumpulan tugas sekolah. Jika ada kesamaan dalam cerpen yang saya buat ini dengan karya lain, saya yakin hal itu hanyalah ketidaksengajaan. Tolong jangan ambil cerpen ini untuk kepentingan plagiarisasi. Jika memang ada keperluan dengan cerpen ini, hubungi saya terlebih dahulu. Tolong nikmati cerpen ini dan ambil hikmah yang saya sisipkan dalam cerpen ini.)
Setiap
Kata
Virta
Hal yang
terlihat di depan mataku saat ini hanyalah sepasang kaki milikku yang melayang,
kakiku yang memakai sepatu sekolahku yang berwarna hitam. Aku sendiri sedang
duduk di atas dinding beton yang berdiri di depan sekolah, tingginya sekitar
sedadaku. Saat ini jarum panjang dan jarum pendek menunjukkan bahwa ini adalah
waktu istirahat, dan ini adalah caraku sendiri untuk menghabiskannya.
Biasanya,
aku mengikuti teman-temanku yang bermain bola, atau beberapa lainnya yang mau
jajan ke kantin. Tapi, entahlah, hari ini, aku memilih untuk menemani dinding
beton ini.
“Zo,
ngapain kamu di situ?” Aku terkejut, ternyata kata-kata itu keluar dari temanku
yang memiliki dua pasang mata (pasangan yang kedua berbingkai lumayan tebal dan
berbentuk lingkaran), Yani. Tiba-tiba, ia muncul sendiri di hadapan diriku dan
dinding beton ini.
“Lagi merenungi
hidup, Yan.” Aku berkata, berusaha memasang wajah yang seserius mungkin.
Sepertinya Yani tidak mengambil serius hal yang aku katakan, jadi ia tertawa.
“Halah,
kamu,” balasnya, wajahnya menggeleng sedikit, dan lalu ia ikut menemani dinding
beton itu, “merenungi hidup atau mikirin Sita?”
Sita. Tak
perlu aku jelaskan kecantikan yang ada pada dirinya, sebab aku menyukainya dari
hal-hal yang ia lakukan, bukan hal-hal yang membuatnya menarik dari luar.
Aku memukul
Yani dengan pelan dan maksud bercanda. Aku tak dapat menahan rebusan rasa malu
yang membuat diriku matang, berwarna merah di wajah. Lama kelamaan bibirku
merekah menjadi senyuman, hanya karena memikirkan Sita.
“Kayaknya
kamu harus cepet ngasihtau dia deh,” ucap Yani, wajahnya mulai serius, walaupun
senyumannya masih menandakan keisengan, “ya, seenggaknya biar dia tau.”
Aku
mengangguk dengan pelan, tapi aku tidak yakin dengan kesiapanku dalam melakukan
hal itu.
***
“Assalammu’alaikum,”
aku berkata, sambil membuka pintu rumah dan menaruh sepatuku di rak. Aku
disambut oleh wangi makanan yang baru jadi.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab sebuah suara lembut yang selalu membalas salamku ketika aku pulang
sekolah. Suara Ibu yang sedang sibuk memasang gorden di ruang tamu, kakinya
berpijak pada kursi, sebab tinggi badan Ibu tidak setinggi jarak lantai dan bagian
atas jendela rumah kami. Begitu aku melihat gorden itu, aku tersentak kaget.
Warnanya pink!
“Bu,”
ucapku, sambil menunjuk ke gorden yang tengah ia pasang, “nggak salah tuh,
warnanya pink?”
Ibu yang
berada pada ketinggian yang melebihi tinggiku menatapku dengan dengan bingung.
“Memangnya kenapa?”
“Kok… kok
pink, sih?” Ucapku, “lagian, Ibu kok nggak ngomong sih kalo mau ganti gorden?
Ngomong dulu kek, kan bisa didiskusikan mau warna apa sama aku dan Ayah. Lah, ini,
pink? Kan cuma Ibu aja yang senang kalo warnanya pink.”
Ibu
terdiam.
“Kalau kamu
tidak suka, beli aja gorden sendiri pake uangmu.”
Ia menuruni
kursi itu, mengembalikannya, dan membiarkan gorden pink berumbai-rumbai itu
bergantung sendiri, belum terpasang secara sempurna.
Sekarang,
giliranku yang terdiam.
***
Jam digital
di kamarku menunjukkan bahwa sekarang tepat jam sepuluh malam. Aku sedang
terbaring di kasurku, handphoneku memancarkan cahaya berbentuk kotak yang
mendarat tepat di wajahku. Hatiku masih merasa tidak enak oleh hal yang aku
katakana ke Ibu tadi.
Mungkin
aku harus minta maaf ke Ibu… pikirku.
Namun, aku tahu bahwa hal itu adalah hal yang sangat sulit. Bahkan, lebih sulit
daripada harus menyatakan kepada Sita bahwa menurutku dia itu spesial.
Entahlah, ada rasa gengsi yang besar dari menyatakan satu kata itu kepada Ibu,
‘maaf’.
“Tapi,
Yah…” sebuah suara berkata. Suara Ibu. Dari dalam kamarku, aku dapat mendengar
percakapan yang sedang terjadi antara Ibu dan Ayah yang sepertinya baru sampai
rumah. Tanpa maksud buruk sedikit pun, aku menempelkan kupingku ke pintu dan
mencoba untuk mendengarkan percakapan mereka.
“Kalau
memang ia tidak suka dengan gorden itu, beli saja lagi. Pakai uangku, ya?” Ayah
berkata. Tanpa melihat secara langsung, aku dapat mengetahui bahwa Ayah sedang
menenangkan Ibu, memegang tangannya dan membelainya dengan lembut, agar hati
Ibu tenang kembali.
“Tapi, masa
anakku itu tidak sadar bahwa uang tidak muncul secara otomatis dari telapak
tangan kita? Bahwa aku membeli gorden itu dengan uang, dengan uang yang aku
dapatkan dari menjajakan jualan Ibu Marti setiap hari. Aku tidak sedih karena
ia bersikap lancang padaku, tapi aku sedih karena ia tidak bisa menghargai uang
di balik gorden pink itu.” Ucap Ibu. Isakan terdengar jelas dari setiap kata
yang ia keluarkan.
***
Aku masih
belum bisa berkata maaf kepada Ibu. Aku tahu kata-kata yang keluar dari mulutku
itu bukanlah kata-kata yang terpuji, namun aku masih belum bisa menarik seluruh
jiwaku untuk berkata ‘maaf’ kepada Ibu.
Meski
begitu, gorden pink itu telah terpasang dengan rapi di rumah. Gorden itulah
yang mengingatkanku pada kata-kataku kepada Ibu, dan memanggil rasa bersalah
itu kembali
***
Lampu di
atas kepalaku menyinari alat-alat laboratorium yang berserakan di atas meja.
Alat-alat tersebut tengah kurapikan bersama Sita, pasangan percobaanku hari ini
di pelajaran kimia. Entah ini takdir atau memang absen kita bersebelahan, yang
manapun dari keduanya, aku tetap akan merasa senang.
Mungkin,
inilah saatnya. Saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku kepada Sita. Di
tengah-tengah kelegaan kita dari percobaan kimia yang berjalan dengan lancar.
Baiklah.
Aku menarik
napasku dalam-dalam.
“Sita.”
Panggilku. Sita yang sedang menyusun tabung reaksi pada raknya langsung melirik
kepadaku.
“Apa?”
Jawab Sita. Jantungku mulai berdegup kencang.
“Aku boleh
ngomong sesuatu?”
Sita
terdiam sejenak. “Iya, boleh. Apa?”
Sekarang
giliranku yang diam sejenak. “Aku… sebenarnya aku…”
“Aku…”
Rasanya
seluruh kata-kata yang selalu aku latih seraya aku menatapnya terhambur di
dalam benakku. Tatapannya membuatku bingung.
“Eh, aku
cuma mau bilang…” aku berkata, mata pada badanku yang gugup ini melihat ke
bawah sesekali, “kalo…”
“Kalo?”
Kata Sita. Nampaknya ia menunggu-nunggu kata-kataku.
“Kalo… kamu
cocok banget jadi ilmuwan,” ah, bodohnya aku. Bodoh! Kenapa aku malah berkata
ini? “tadi tuh, pas percobaan, kamu yang paling telaten, yang paling alami gitu
pas megang tabung reaksi. Kayak kamu tuh terlahir buat megangin tabung reaksi.”
Bodohnya
aku… bodoh! Apa yang kamu katakan tadi, Zo?
Sita
tersenyum. “Hehe, makasih Zo,” ucapnya, wajahnya memerah sedikit.
“I… iya,
sama-sama.”
Hariku pun
berakhir dengan sebuah pernyataan yang membuatku memukul jidatku sendiri.
***
Aku
sedang berada di dalam sebuah ruangan. Gelap sekali ruangan itu. Yang dapat
kulihat hanyalah kehitaman yang kelam, dan aku terperangkap di tengah-tengah
kehitaman yang kelam itu.
“Di mana
ini? Di mana semuanya? Mati lampu kah?” Aku berteriak dengan sekuat tenaga.
Dari kecil sampai sekarang, ada satu ketakutan yang belum dapat aku taklukkan:
ketakutan akan kegelapan. Aku bahkan tidak dapat melihat telapak tanganku
sendiri.
Keringat
membasahi tanganku.
“Zo!”
Sebuah suara yang besar tiba-tiba muncul. Suara itu tidak menampakkan
pemiliknya, semuanya masih gelap.
“I… iya?”
Jawabku. Tubuhku melemas.
“Zo!” Panggilnya
lagi.
“Apa?”
Ujarku, lebih kencang lagi kali ini.
“Apa
benar kamu telah menyakiti hati ibumu?”
Aku
terdiam. Aku menelan ludahku. Aku gemetaran. Aku bisa dengan gampangnya
menjawab ‘tidak’, tapi aku tahu, bahwa itu bukanlah kenyataan.
“I… iya.
Aku telah menyakiti hati ibuku.”
“Sudahkah
kau meminta maaf darinya?”
Aku
terdiam lagi. Aku bisa dengan gampangnya menjawab ‘sudah’, namun aku tahu, itu
bukanlah kenyataan.
“Be…
belum.”
Suara itu
hilang sejenak. Lalu, ia melanjutkan interogasinya kepadaku. “Baiklah,” ia
berkata, “Zo, apa kau ingin melihat sesuatu?”
Kalau aku
menjawab tidak, bagaimana? Tapi pada akhirnya, aku menjawab, “Baiklah.”
Sebuah
cermin seukuran diriku muncul di depan diriku. Di dalamnya, aku melihat sosok
seorang perempuan yang pasti dapat aku kenali, bahkan jika ia terlihat sedewasa
ini. Sita.
Di dalam
cermin itu, Sita tidak sendirian. Ia sedang duduk berdampingan bersama seorang
lelaki yang tak kukenal, dan seorang bayi yang ia timang di tangannya.
“Apa ini?
Siapa lelaki itu?” Ujarku, kaget. Hatiku yang menyukai Sita merasa tidak terima
dengan bayangan yang aku lihat dari cermin itu. Namun, Sita terlihat bahagia.
Senyuman yang lebar pada wajahnya memancarkan segala kebahagiaan itu.
“Siap
untuk melihat bayangan yang selanjutnya?” Suara itu berkata.
Aku
mengangguk.
Bayangan
di cermin itu pudar. Muncullah bayangan yang lain.
Bayangan
ini menunjukkan sosok seseorang yang kukenal dengan baik. Ibu. Wajahnya yang
sekarang masih lembut dan rambutnya yang masih hitam telah berubah menjadi
keriput dan putih. Tangannya yang menunjukkan umurnya yang telah lanjut meraba
gorden warna pink yang masih tergantung di ruang tamu itu. Aku dapat
merasakannya, ia menghela napas panjang.
“Kamu
kira bahwa Ibu akan membiarkan semua itu berlalu, bahwa suatu saat pasti Ibu
akan melupakannya, bukan?” Suara itu berkata, “Tapi, ia tidak pernah lupa.”
Setitik
air, entah dari mana mengalir menuruni pipiku.
***
Aku
terbangun terduduk di atas sofa, perasaan kaget melumuri kulitku.
Di hadapanku,
TV yang masih menyala. Sepertinya aku tertidur ketika menonton TV sepulang
sekolah ini, dan sekarang di TV terpampang gambar jeruk-jeruk dari iklan sari
jeruk yang terkenal.
“Zo?” Ibu
memanggil dari dapur, “Zo?”
“Ibu!”
Teriakku. Aku berlari ke dapur, dan begitu aku menemukan sosoknya, secara
refleks aku memeluknya dan aku berkata:
“Ibu,
maafkan aku. Maafkan aku Ibu. Maafkan kata-kataku tentang gorden pink itu. Maafkan
kata-kataku yang lancang. Aku akan belajar dan melakukan yang terbaik, Ibu. Aku
akan menghargai uang dengan lebih baik. Ibu…”
Nampaknya
Ibu sama kagetnya dengan diriku. Meski kata-kataku mengagetkan, namun mereka
tulus, dan mereka berasal dari hati.
“Iya, Nak.”
Hanya itu yang Ibu katakan. Dan hanya itu yang aku perlukan.
Air mata
pada wajahnya yang mengalir perlahan begitu aku melepas pelukannya melambangkan
segala hal yang ingin ia katakan. Ia tersenyum.
***
Di koridor
sekolah, aku melihatnya dengan jelas. Sita, duduk sendirian di pinggir air
mancur di tengah-tengah sekolah, matanya menempel pada buku A Brief History
of Time, karya Stephen Hawking. Ah, Sita dan bacaan beratnya.
Baiklah.
Inilah saatnya.
“Sita, buku
apaan tuh?” Sapaku, berbasa-basi. Dalam hati, aku berharap bahwa keempat kata
itu dapat memulai percakapan yang menguntungkan kedua pihak. Aku duduk di
sebelahnya.
“Eh, Zo,”
jawabnya. Ia menurunkan bukunya dari wajahnya, dan sekarang wajahnya menghadap
kepadaku. “Ini, bukunya Stephen Hawking, ilmuwan yang hebat meski ia memerlukan
alat bantu untuk melakukan hampir semua hal. Kamu udah pernah baca belom?”
“Pernah
denger sih,” ujarku.
Aku
mengambil buku itu dari tangannya, dan aku membuka-bukanya sedikit.
“Kamu mau
pinjam?” Tanya Sita.
Aku
menggeleng, mengarahkan tatapanku kepadanya.
“Ada
sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu.” Kataku, berusaha agar benakku tidak
terhamburkan lagi, seperti waktu itu.
“Apa, Zo?”
Balas Sita. Ia menunggu.
“Aku suka
sama kamu, Sita,” ucapku, aku biarkan semuanya mengalir dari dalam mulutku.
“Kok bisa?”
Sita berkata, ia terlihat kaget dan wajahnya memerah. Nampaknya ia tak
menyangka bahwa kata-kata itu keluar dari mulutku.
“Kamu
memang cantik dari penampakanmu,” aku berkata, “tapi, aku suka kamu karena
hal-hal yang kamu lakukan, semua hal yang kamu lakukan itu spesial.”
Sita
tersipu malu. Ia tersenyum padaku.
***
Ketika aku
kembali ke ruang yang hitam kelam itu, tidak ada yang berubah, selain
bayangan-bayangan yang muncul dari cermin itu.
No comments:
Post a Comment