Thursday, 24 July 2014

Langit Luas

Jarum jam hampir menunjuk ke angka lima. Buka puasa sebentar lagi. Papah yang baru dibelikan helikopter RC oleh Mamah mengajak aku dan Dinda untuk menemaninya memainkannya, "Kita ngabuburit," katanya. Seharian 'terperangkap' di dalam rumah membuatku senang ketika mendengar kata-kata itu darinya, dan, setelah beberapa persiapan, kami berangkat ke sebuah lapangan luas yang memadai untuk memainkan helikopter itu. Aku mengajak Alul untuk ikut bersama kami, karena aku tau, ia pasti suka melihatnya terbang.

Namun, kenyataan tak semanis harapan. Helikopter itu tidak terbang dengan lancar. Sambil meniup balon sabun di pinggir lapangan luas itu kami memperhatikan Papah yang kewalahan mengendalikan helikopternya. Tidak jarang helikopter itu jatuh terhantup di atas tanah. Takut helikopter itu rusak pada percobaan pertama, Papah memanggil kami untuk mengikutinya ke lapangan bola yang tak jauh dari tempat kita duduk.

Memasuki area lapangan bola itu, aku merasa aku sedang melihat sebuah pertunjukkan yang indah. Pohon-pohon kelapa di sekitar lapangan bola itu melambai, ditiup oleh angin sore hari. "Ta, awannya bagus!" Panggil Alul, sambil menunjuk ke arah langit. Aku setuju, namun tak sepenuhnya setuju. Sebab menurutku, tidak hanya awannya saja yang bagus. Semua tentang langit pada waktu itu bagus. Area lapangan bola yang luas membuat langit di atas terlihat sangat luas, terbentang. Aku seperti seorang manusia prasejarah yang baru pergi ke bioskop untuk pertama kalinya.

Kemudian Alul melanjutkan, "Ita, awan yang itu bentuknya kaya' kereta api kecelakaan." Ia menunjuk kepada awan tipis yang (menurutku) bentuknya seperti telur orak-arik yang masih berada di penggorengan.

Seraya Papah masih mencoba mengendalikan helikopternya, aku dan Alul bermain di area gawang. Dengan tubuh kecilnya Alul berusaha untuk meraih jaring-jaring gawang yang dibiarkan menggantung di bagian atas gawang; sementara Dinda meniup balon sabun yang aku bawa dari rumah. Balon-balon yang ia tiup kecil ukurannya, sebab hanya tangkai balon tiup saja yang kita punya di rumah sebagai media peniup balon sabun.

Ketika Dinda duduk di atas rerumputan, aku ingin melakukannya pula. Maka aku pun duduk di sebelahnya. Kontan Alul mengomentari perbuatanku, "Ta, itu abis dibeolin sama burung, lho." Aku mengiyakan kata-katanya, namun aku tak peduli akan kotoran apapun yang aku duduki.

Tak lama kemudian, Dinda membaringkan badannya. Sebenarnya, dari awal kami sampai pada lapangan bola ini, itulah hal pertama yang terpikir olehku ketika aku melihat rumput di bawah kakiku. Aku ingin membaringkan tubuhku di sini. Hal ini terinspirasi oleh sebuah adegan di drama Korea To The Beautiful You, di mana pemeran utamanya dan temannya terbaring di atas lapangan bola sekolahnya (mungkin?) setelah kecapekan main sepakbola malam-malam. Setelah itu, aku mengikuti apa yang Dinda lakukan. Aku menunjukkan segala bahagiaku, dan komentar Dinda hanyalah, "Kaya gak pernah aja."

Pernah sih, tapi tidak di bawah langit seluas dan seindah ini.


No comments:

Post a Comment